Prinsipdemokrasi tentang peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai makna bahwa peradilan dilaksanakan tanpa adanya campur tangan dari pihak lain dan dilakukan secara adil, tidak memihak atau tidak condong pada hal tertentu. Prinsip ini berfungsi untuk menegakkan dan memberlakukan hukum yang berlaku kepada siapa saja demi tercapainya

- Artikel ini ditulis guna menjelaskan soal kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak secara lebih jelas. Soal ini dibahas untuk dimanfaatkan sebagai referensi ketika kesulitan mempelajari materi yang diterima. Berkembangnya latihan soal yang mengikuti dengan kompetensi dan kurikulum yang diterapkan terkadang menjadikan murid kesulitan memahami soal meski sudah diberikan contoh dan dipaparkan sebelumnya. Di sinilah artikel tentang kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak dibuat untuk menyelesaikannya. Dengan tujuan memberikan murid lebih menguasai setelah membaca artikel kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak yang ditulis dengan penjelasan yang lebih ringkas. Baca Juga Tujuan Diadakannya Hubungan Antarbangsa di Dunia Adalah, Kunci Jawaban PKN Kelas 11 Adik-adik dapat tahu penjelasan yang dibutuhkan dengan membaca penjelasan di bawah ini Pertanyaan Kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak Jawaban Badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak adalah konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum dan negara konstitusional sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Di bidang peradilan pidana keberlakukan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini dengan tegas dinyatakan di dalam KUHAP sebagai salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Pasal 1 angka 9, yang menentukan “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Uraian Asas Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak dan Kekuasaan Kehakiman Keberlakuan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak di Indonesia merupakan konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum dan negara konstitusional sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Di bidang peradilan pidana keberlakukan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini dengan tegas dinyatakan di dalam KUHAP sebagai salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Di dalam KUHAP secara tegas asas ini dimuat di dalam 1. Pasal 1 angka 9, yang menentukan “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini”. 2. Penjelasan Umum angka 3 huruf e yang menentukan “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”. Penyelenggaraan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini, menurut UUD 1945 dilaksanakan oleh Kekuasaan Kehakiman. SebagaiTim Penasehat Hukum ibu Meliana, setelah menahan diri untuk tidak menuliskan apapun terkait perkara ibu Meliana, karena kami beranggapan bahwa medsos bukanlah ranah untuk saling membuktikan kebenaran, namun baiklah sekarang kami menuliskannya setelah hakim membacakan putusannya menghukum penjara Meliana selama 18 bulan, sesuai dengan Dalam konstitusi telah ditentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum rechstaat, demikian pula yang tertuang dalam penjelasan konstitusi UUD 1945 NRI. Di dalam representasi negara hukum, salah satu faktor terpenting terletak dalam lembaga peradilannya, dimana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah, dalam hal ini antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya. Salah satu prinsipal dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari segala unsur kekuasaan apapun. Tanpa adanya independensi maupun kemandirian dalam badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dampak yang buruk termasuk peluang munculnya penyalahgunaan kekuasaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini mengkaji mengenai independensi peradilan yang ada di Indonesia sebagai representasi dari adanya negara hukum. Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif. Sebagai rumpun ilmu normatif, ilmu hukum mempunyai alur kerja secara khas sui generis. Metode pendekatan yang digunakan di penelitian hukum ini yaitu menggunakan pendekatan yuridis-normatif, dimana metode penelitian hukum ini dilakukan dengan cara mengkaji lebih mendalam terhadap bahan-bahan kepustakaan atau bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan perundang-undangan atau yang disebut dengan statute approach, yang dikaji dengan cara menelaah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan termasuk juga pengaturan regulasi yang terkait dengan kajian permasalahan yang diambil. Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan konseptual conceptual approach yang berpijak dari pandangan atau pendapat ahli maupun doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Kata Kunci independensi, peradilan, negara hukum, hakim Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 82 Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Independensi Peradilan dan Negara HukumVolume 3, Nomor 2, Oktober 2018INDEPENDENSI PERADILAN DAN NEGARA HUKUMNuria Siswi EnggaraniFakultas Hukum Universitas Muhammadiyah SurakartaEmail Nse178 AbstrakDalam konstitusi telah ditentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum rechstaat, demikian pula yang tertuang dalam penjelasan konstitusi UUD 1945 NRI. Di dalam representasi negara hukum, salah satu faktor terpenting terletak dalam lembaga peradilannya, di mana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah, dalam hal ini antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya. Salah satu prinsipal dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari segala unsur kekuasaan apapun. Tanpa adanya independensi maupun kemandirian dalam badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dampak yang buruk termasuk peluang munculnya penyalahgunaan kekuasaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini mengkaji mengenai independensi peradilan yang ada di Indonesia sebagai representasi dari adanya negara hukum. Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif. Sebagai rumpun ilmu normatif, ilmu hukum mempunyai alur kerja secara khas sui generis. Metode pendekatan yang digunakan di penelitian hukum ini yaitu menggunakan pendekatan yuridis-normatif, di mana metode penelitian hukum ini dilakukan dengan cara mengkaji lebih mendalam terhadap bahan-bahan kepustakaan atau bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan perundang-undangan atau yang disebut dengan statute approach, yang dikaji dengan cara menelaah berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan termasuk juga pengaturan regulasi yang terkait dengan kajian permasalahan yang diambil. Pendekatan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan konseptual conceptual approach yang berpijak dari pandangan atau pendapat ahli maupun doktrin yang berkembang dalam ilmu Kunci independensi, peradilan, negara hukum, hakim 83Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Nuria Siswi EnggaraniPendahuluanKonstitusi telah menentukan yang tertuang dalam aturan dasar negara bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Begitu juga dalam penjelasan konstitusi yang menjelaskan mengenai sistem pemerintahan negara di mana jelas diatur bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum rechstaat”. Konsep rechstaat merupakan konsep negara hukum di negara-negara Eropa Kontinental yang menganut sistem Civil Law. Di dalam konsep ini, berdasarkan doktrin yang dijelaskan oleh Julius Stahl, bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam negara hukum terdiri atas beberapa poin penting sebagai berikuta. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia grondrechten;b. Adanya pembagian kekuasaan scheiding van machten;c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum wet matigheid van her bert;d. Adanya peradilan administrasi administratief rechtspraak.1Salah satu unsur yang paling penting dalam negara hukum yaitu adanya lembaga peradilan yang independen, sebab dalam sebuah pemerintahan, selalu terdapat permasalahan atau sengketa yang melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah yang berhadapan dengan rakyat dalam suatu pemerintahan yang melanggar aturan hukum yang telah ditetapkan. Doktrin yang sama disampaikan oleh Sjahran Basah, mengenai hadirnya peradilan sebagai salah satu unsur yang penting dan juga paling dominan yang merujuk ke dalam proses-proses penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan juga kepastian hukum bagi masyarakat dan juga pemerintah demi tercapainya apa yang dinamakan dengan check and Posisi atau kedudukan lembaga-lembaga peradilan di Indonesia merupakan satu kesatuan dari implementasi adanya konsep negara hukum yang mencitakan adanya supremasi hukum 1 Donald A. Rumokoy, 2001, Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta UII Press, hlm. 72 Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni, hlm. 26maupun penegakan hukum yang dalam tercapainya negara hukum yang berkeadilan, salah satu faktor utama dengan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independen. Tanpa adanya independensi dalam lembaga kehakiman dan juga peradilan yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara dan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, lembaga peradilan lain yang memiliki fungsi di bidang kekuasaan kehakiman diatur lebih lanjut dalam pengaturan undang-undang. Hal ini selain memberikan pengaturan yang jelas tentang posisi lembaga-lembaga peradilan tersebut di luar tempat lingkungan peradilan yang telah diatur dalam Kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945 yang dituangkan dalam Pasal 24 ayat 2, di mana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,” hal ini sebagaimana pula yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 25, yang menyatakan bahwa badan peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan juga peradilan tata usaha negara. 3 Galang Asmara, 2006, Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta LaksBang Pressindo, hlm. 34 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. 5 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta Rajagrando Persada, 2007, hlm. 32 84 Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Independensi Peradilan dan Negara HukumBeranjak dalam ketentuan tersebut, maka lembaga-lembaga yang didirikan yang berada pada fungsi kekuasaan kehakiman telah disebutkan dan diatur secara limitatif atau terbatas. Sehingga tidak ada lembaga peradilan selain yang telah disebutkan secara tegas dan diatur dalam konstitusi expressive verbs. Meskipun kemudian di masa mendatang dimungkinkan untuk dibangun lembaga peradilan atau pengadilan yang berwenang menangani kasus tertentu sesuai dengan kesepakatan atau ketentuan yang telah dibuat dewan legislatif, namun lembaga tersebut haruslah kemudian berada dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yakni lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, peradilan militer atau lingkungan peradilan tata usaha negara. Hakim sebagai pelaku utama secara fungsional dalam melaksanakan fungsi terhadap kekuasaan kehakiman, sebab dalam pengaturan konstitusi di Indonesia, telah diatur bahwa kekuasaan kehakiman yang terdiri atas fungsi badan peradilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang. Di dalam mengimplementasikan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim dalam hal ini harus profesional dalam menjalankan ruang lingkup kewajiban dan tugas yang telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah hakim mampu memahami hal yang menjadi kewenangannya, selanjutnya hakim diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai moral dan integritasnya dan secara profesional dapat menyelesaikan kasus-kasus perkara yang ditanganinya secara adil dengan berpedoman pada keyakinan hakim dan Sehingga dalam hal untuk mendapatkan sumber daya hakim dengan kualitas nilai-nilai dan kriteria tertentu yang ditetapkan untuk memiliki integritas yang tinggi, kepribadian yang tidak tercela, adil profesional, dalam pelaksanaan dan serangkaian proses seleksi hakim merupakan bagian yang cukup penting, sebab tanpa proses seleksi pengangkatan hakim yang transparan dan terbuka dapat memiliki dampak dan berpengaruh terhadap penegakan hukum sistem peradilan dalam mewujudkan nilai-nilai dan pelaksanaan pengawasan dalam hal ini merepresentasikan hubungan kesepakatan atau persetujuan antara yang diperintah atau rakyat dengan yang memerintah 6 Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana Prenadamedia Group, 2013, Jakarta, hlm. 105atau Warga negara atau masyarakat memberikan hak atau pelimpahan kekuasaan kepada eksekutif dalam penarikan pajak tax, tidak hanya itu dan juga dalam pelaksanakan kebijakan dan hukum. Namun sebagai tindakan imbal balik, masyarakat mengaharapkan dan menghendaki adanya keterbukaan, pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Mereka mencitakan adanya representasi volkgeist dalam bentuk pemerintahan yang dapat memberikan penerangan dan keterbukaan terhadap publik yang berkaitan dengan cara mereka menjalankan kekuasaan di tangan mereka untuk kemudian dilakukan pengawasan tidak menutup kemungkinan dilakukan koreksi, komplain, maupun gugatan jika dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan, kekuasaan yang sewenang-wenang dan di luar aturan hukum yang ada, dan juga terjadinya arbitraty power dalam birokrasi dan Akuntabilitas yang sehat menjadi semacam tolok ukur atau atribut formal dalam representasi pemerintahan yang demokratis dengan adanya kepastian akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang jelas antara yang diperintah dengan yang Dalam ciri negara hukum yang demokratis salah satu faktor penting adalah adanya pertanggungjawaban yang jelas dari para penyelenggara negara terhadap keputusan yang diambil dan dibentuk menjadi hukum negara, di mana pertanggungjawaban tersebut sering melekat dengan peristilahan responsibility, transparency, dan acccountability. Istilah akuntabilitas dalam kajian ilmu sering dilihat dalam perspektif kajian ilmu di bidang manajemen dan juga administrasi, namun kajian tentang akuntabilitas dari perspektif hukum administrasi memerlukan pengembangan lebih lanjut dalam kebutuhan ilmu pemerintahan konstitusionalisme, lembaga peradilan menjadi unsur penting dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dengan melindungi hak-hak dasar sipil dan Konstitusi memperkuat esensi dibentuknya 7 Mark Schacter, When Accountability Fails A Framework for Diagnosis and Action, Institute On Governance, Ottawa, Ontario, Canada, 2000, hlm. 18 Ziyad Motala & Cryril Ramaphosa, Constitutional Law analysis and Cases, Southern Africa, Cape Town Oxford University Press, Published in South Africa, 2002, hlm. 177 85Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Nuria Siswi Enggaraniperadilan sebagai benteng dalam memperkokoh dan mempertahankan nilai-nilai dasar Salah satu pemaknaan dari konstitusionalisme adalah adanya pemerintahan yang Adanya pengaturan dalam pembatasan terhadap struktur pemerintahan yang dimuat dalam konstitusi atau yang disebut dengan paham konstitusionalisme, salah satu fungsinya lebih dari sekadar pembagian kekuasaan, tetapi lebih pada upaya pengendalian dan pengaturan otoritas dan kekuasaan politik sehingga tidak dijadikan landasan maupun sarana untuk bertindak di luar kewenangan yang diberikan atau bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan politik maupun Adanya pemisahan kekuasaan dalam ajaran Trias Politica secara fungsional terhadap kekuasaan negara dan struktur pemerintahan yang bersifat horizontal sebagaimana yang dibagi ke dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, maupun kekuasaan Kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasan dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, kekuasaan yudikatif yang merupakan kekuasaan dalam bidang mengadili atas pelanggaran undang-undang serta kekuasaan eksekutif yang dalam fungsi menjalankan atau melaksanakan ketentuan undang-undang yang telah Dalam struktur pemerintahan yang telah dibuat separation of power sebagaimana yang telah disebutkan, dalam pelaksanaannya tidak terlalu kaku dijalankan, namun lebih kepada sebuah hubungan yang saling melengkapi, melakukan pengawasan, check and balance, dan juga saling mengimbangi antar Hal ini dilakukan sebagai upaya pembatasan yang telah dilakukan, tidak disimpangi ke dalam bentuk pelampauan masing-masing kewenangan dalam batas-batas kekuasaannya. Pembagian kekuasaan sebagai komponen maupun unsur prinsip kedua dari adanya negara hukum modern merupakan prinsip organisasional di mana pelaksanaannya haruslah dijamin dan diberikan kepastian 11 Ibid., hlm. 17812 Ibid., hlm. 17613 Eric Barendt, An Introduction Constitutional Law, London Clarendon Law Series, Oxford University Press, 1998, hlm. 1414 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar ilmu Politik, edisi Revisi Cetakan ke-empat Oktober 2009 Jakarta Gramedia Pustaka, 2009, Sri Soemantri, Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung Alumni, 1997, Ibid., hlm. 153bahwa segala kekuasaan pemerintahan yang dijalankan dalam negara dapat diuji dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat ditarik permasalahan untuk dikaji sebagai berikutBagaimana kajian independensi peradilan di Indonesia sebagai negara hukum?Metode PenelitianMetode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif. Sebagai ilmu normatif, ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas sui Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan statute approach dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan permasalahan yang sedang Sedangkan pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan konseptual conceptual approach beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu Hasil dan PembahasanUnited Nation telah mengadopsi beberapa prinsip penting terkait dengan peradilan yang bebas berdasarkan Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang berarti Prinsip-Prinsip Dasar dari Sebuah Peradilan yang Bebas pada Kongres Ke-7 pada tahun Sebagai konsekuensi dari penggunaan Prinsip-Prinsip Dasar oleh Perserikatan Umum United Nation, masing-masing negara diharapkan 17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. Ke 6, Jakarta; Kencana, 2010, hlm. 35 18 Ibid.,, hlm. 9319 Ibid.,hlm. 9520 Penulis bekerja di Badan Peradilan Mahkamah Agung di Nova Scotia, Kanada. Tulisan ini adalah resume dari paper yang ditulis saat penulis sedang belajar di Pusat Internasional untuk Reformasi Peradilan Pidana dan Kebijakan Peradilan Pidana di Vancouver, Kanada. 86 Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Independensi Peradilan dan Negara Hukumuntuk menjamin independensi dari peradilan pada konstitusinya atau pada hukum yang diterapkan di negara tersebut. Meskipun kemerdekaan bagi sebuah badan peradilan pada dasarnya menjadi syarat atau prinsip esensial yang nyata pada berbagai sistem hukum yang adil, namun luasan denisi yang tepat bagi prinsip itu sendiri mungkin sulit diterapkan di negara yang berbeda kultur atau kebudayaan dan sistem hukum yang umum, atau pada dasarnya, kemerdekaan dari sebuah badan peradilan adalah selalu merujuk pada kemampuan hakim untuk memutuskan sebuah perkara dengan bebas dari tekanan atau hasutan apapun. Dengan demikian, institusi peradilan secara keseluruhan juga harus independen atau merdeka dengan menjadi terpisah dari pemerintah dan pusat kekuasaan lainnya. Peran utama dari sebuah peradilan yang independen adalah untuk meningkatkan pelaksanaan rule of law dan untuk memastikan atau menjamin supremasi hukum. Jika sebuah badan peradilan benar tidak memihak dan merdeka dalam melaksanakan fungsi adjudicative-nya, maka badan tersebut harus memiliki kewenangan khusus yang tetap membuatnya “terpisah” dari institusi ke pemerintahan lain, organisasi politik, pengaruh organisasi non-governmental, dan terbebas dari pengaruh-pengaruh lain di luar itu seperti halnya yang ditulis oleh Justice William Kelly, sebagai berikut“Simply stated, judicial independence is the ability of a judge to decide a matter free from pressures or inducements. Additionally, the institution of the judiciary as a whole must also be independent by being separate from government and other concentrations of power. The principal role of an independent judiciary is to uphold the rule of law and to ensure the supremacy of law. If the judiciary is to exercise a truly impartial and independent adjudicative function, it must have special powers to allow it to “keep its distance” from other governmental institutions, political organisations, and other non-governmental inuences, and to be free of repercussions from such outside inuences.”2121 Justice William Kelly, An Independent Judiciary The Core of The Rule of LawBasis dari peradilan yang independen selanjutnya diawali dengan prinsip pertama yakni peradilan yang independen seharusnya dijamin oleh Negara dan ditetapkan dalam konstitusi atau hukum dari suatu negara. Hal itu adalah kewajiban dari pemerintah dan institusi lain untuk menghargai dan mengawasi independensi peradilan itu sendiri sebagaimana dinyatakan sebagai berikut“The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary”.22Hukum pidana telah eksis berlangsung sejak manusia pertama kali mengakui bahwa perselisihan lebih baik diselesaikan lewat jalur pengadilan daripada melalui perselisihan secara sik. Penyelesaian perselisihan secara berangsur beralih dari penyelesaian secara kekeluargaan, oleh suku yang lebih tua, maupun oleh kepala suku, beralih menjadi penyelesaian oleh hakim-hakim profesional yang dibentuk dalam sebuah negara. Beberapa contoh dalam sejarah awal dari hukum pidana tertulis yang dibuat selama Dinasti Xia23 2100-1600 BCE dan pada saat masa Hammurabi24 1792-1750 BCE dari Negeri Babylon, di mana code-code atau aturan kepidanaan tertulis dan sistem peradilan yang cukup canggih telah bermula di Inggris, John Locke dan lsuf Prancis, Montesquieu, secara umum dianggap memiliki pengaruh paling besar dalam perubahan atau evolusi dari konsep-konsep modern dalam sebuah independensi peradilan. Pada akhir Abad ke-18, John Locke, yang mendapat pengaruh yang 22 Prinsip ini merupakan prinsip pertama dari Basic Principles yang ada di dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh United Nations dalam Kongres Ketujuh pada tahun 1985. Prinsip selanjutnya akan dituangkan pada pembahasan yang Hukum pidana ini dibuat selama rezim dari penguasa Yu, dan meskipun belum ditemukan namun tertulis dalam sejarah selanjutnya dan dikatakan memuat sekitar 3000 pasal atau aturan di dalamnya24 Hammurabi membuat kotanya menjadi kota yang maju dari Mesopotamia dan mengkodikasi hukum-hukum di wilayahnya. Code yang cukup tua ini ditemukan dalam sebuah kolom di Susa, dan dikodikasikan ulang oleh Arkeolog Inggris, Francis Steele pada tahun 1947 87Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Nuria Siswi Enggaranicukup kuat akibat adanya Revolusi Inggris pada tahun 1688 dan Revolusi Amerika pada tahun 1776, menyatakan bahwa hukum yang dibangun bersama dengan hak untuk mengajukan banding ke hakim-hakim yang independen merupakan faktor yang cukup esensial dalam sebuah masyarakat sipil dan tanpa hak tersebut, mereka masih dalam predikat “in state of nature”. Dan pada intinya dalam konsep modern dalam sebuah peradilan yang independen adalah bertumpu pada teori pembagian kekuasaan di mana peradilan harus berfungsi secara indepeden dan terbebas dari kekuasaan legislatif maupun eksekutif dari sebuah Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia25 mengungkapkan prinsip-prinsip sebagai berikut 1 equality before the law; 2 praduga tidak bersalah; 3 hak untuk memperoleh keadilan dan untuk didengar oleh pengadilan yang berkompeten, independen, dan tidak memihak yang dibangun oleh hukum. Prinsip-prinsip dasar dalam peradilan yang independen mengalami kesenjangan atau gap antara pandangan terhadap prinsip-prinsip dasar ini dan implementasi aktualnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ada sistem peradilan di dunia yang secara penuh dan patuh mengimplementasikan setiap bagian dari prinsip-prinsip dasar ini, melainkan hanya secara nyata beberapa negara mengimplementasikan bagian yang lebih luas dari negara yang adalah doktrin pembagian kekuasaan. Prinsip kedua adalah badan peradilan harus menentukan permasalahan berdasarkan basis fakta dan menurut huku, tanpa batasan apapun, pengaruh yang tidak tepat, tekanan, ancaman pengaruh-pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun. Prinsip selanjutnya adalah seharusnya tidak ada ketidakpantasan apapun atau pengaruh dalam atau bersamaan dengan proses peradilan, tidak juga keputusan peradilan dari pengadilan dijadikan subjek perubahan atau revisi. Hal ini sebagaimana yang dikutip bahwa25 Diadopsi oleh United Nation pada bulan Desember, 1948. Pasal 10 menyebutkan, “Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him.” Lihat juga pasal 14 ayat 1 dari ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights “ The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper inuences, inducements, pressures, threats of interferences, direct of indirect, from any quarter or for any reason. There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law.”Prinsip dasar di atas melingkupi beberapa area atas cabang-cabang yang mungkin dalam peradilan yang bebas yang meliputi asas-asas penting dalam sebuah proses peradilan, sikap tidak memihak, dan bebas dari pengaruh di luar. Hanya di mana sebuah peradilan yang merdeka itu ada, hakim memutuskan perkara secara tidak memihak, karena “the rule of law” memerlukan bahwa seorang hakim tidak melakukan pengulangan atau terikat dari pengaruh-pengaruh yang terdapat di luar. Sejarah peradilan di dunia menunjukkan bahwa bahaya terbesar dari pengaruh adalah datang dari institusi pemerintahan atau partai-partai politik. Sebuah peradilan yang bebas tidak harus hanya menjadi independen atas pengaruh-pengaruh yang lain tetapi itu harus muncul untuk menjadi independen. Hal ini karena sebuah peradilan hanya bisa benar-benar diterima sebagai badan yang adil jika dia mempunyai kepercayaan publik bahwa peradilan tersebut adil dan tidak memihak. Konsep ini melahirkan adagium yang terkenal bahwa “peradilan tidak hanya harus diselesaikan tetapi harus juga dilihat selesai”. Sebagai mana Thurgood Marshall dari Mahkamah Agung US pernah berkata bahwa, “Kita harus tidak pernah melupakan bahwa satu-satunya sumber kekuasaan bahwa kita sebagai hakim adalah dengan menghormati orang-orang.”26Prinsip selanjutnya yang penting adalah pengaturan mengenai kehakiman, kemandirian dan independensinya, keamanan, remunerasi yang cukup, kondisi pelayanan, pensiun dan umur 26 Justice William Kelly, Op. Cit., hlm. 5 88 Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Independensi Peradilan dan Negara Hukumpengunduran diri harus secara cukup dijamin oleh hukum sebagaimana dikutip sebagai berikut“The term of ofce of judges, their independence, security, adequate remuneration, conditions of service, pensions and age of retirement shall be adequately secured by law.”Pengaturan dan jaminan tentang remunerasi berarti bahwa gaji dari semua hakim harus cukup, tetap dan aman, dan tidak merupakan subjek untuk perubahan kewenangan oleh segala cabang dari pemerintah. Adagium Cina bahwa “gaji yang tinggi untuk pejabat memberikan kepada kita pemerintahan yang bersih” memberikan fakta yang benar dalam banyak yurisdiksi common-law. Act of Settlement 170127 mengatur bahwa gaji para hakim di Inggris harus “ditegaskan dan dibangun”. Di Amerika Serikat, terdapat sebuah larangan konstitusional melawan pengurangan gaji dari hakim-hakim Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, telah diatur mengenai independensi peradilan secara jelas, di mana dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga tujuan yang ingin dicitakan dari adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dalam hal ini disebut sebagai independensi peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Independensi peradilan merupakan unsur yang tidak bisa terpisahkan dan telah menjadi sifat kekuasaan peradilan yang dirancang oleh pendiri bangsa, sebagaimana dalam doktrin ahli Bagir Manan yang mengemukakan mengenai kekuasaan kehakiman, di mana kekuasaan kehakiman terdapat dalam dua hal, yang pertama, adalah dalam pengertian badan yang merdeka yang terlepas dari segala unsur pengaruh dan campur tangan dari kekuasaan lain, yang kedua, bahwa hubungan kekuasaan kehakiman dengan lembaga lain atau alat perlengkapan lain lebih merepresentasikan adanya asas separation of power atau pemisahan kekuasaan daripada masuk dalam denisi pembagian kekuasaan sehingga 27 1701 UK, 12&13 William III US Constitution, Art IIItetap ada satu kaitan dan tidak sepenuhnya terlepas dengan adanya mekanisme check and balance sebagai sarana pengawasan Manan dalam penjelasannya tentang Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, Konstitusi RIS, dan UUD 1945 disebut “terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif”. Dalam hal kekuasaan kehakiman terdiri dari dua hal yakni sebagai berikut30 Pertama, hakim terbebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan apapun, selain kekuasaan eksekutif maupun legislatif, hakim harus terbebas dari pengaruh kekuasaan yang bersifat yudisial itu sendiri, maupun pengaruh-pengaruh dan kepentingan di luar eksekutif misalnya opini publik, pendapat umum, pers, maupun kepentingan swasta dan juga kemerdekaan dan juga kebebasan yang dimiliki hakim hanya sebatas fungsi hakim sebagai pelaksanaan dari kekuasaan yudisial atau terletak pada fungsi Manan dalam penjelasannya lebih lanjut mengungkapkan bahwa secara garis besar, susunan badan kekuasaan kehakiman sebuah negara dapat dikaji dari beberapa poin penting sebagai berikut31Pertama; diferensiasi antara badan peradilan umum the ordinary court dan badan peradilan khusus the special court, sebagai berikut1. Susunan badan kekuasaan kehakiman dalam negara-negara yang terlingkup ke dalam Common Law State, di mana pada negara-negara common law tersebut memberlakukan prinsip atau konsep “Rule of Law”. Dalam negara-negara tersebut tidak adanya badan forum peradilan bagi pejabat pemerintahan atau pejabat administrasi negara. Sehingga setiap rakyat baik 29 Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu pencarian, Jakarta Asosiasi Advokat Indonesia, 2009, hlm. 8230 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Op cit., hlm. 1. Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim31 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM Unisba, Bandung, 1995, hlm. 17 89Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Nuria Siswi Enggaranimerupakan rakyat umum maupun pejabat pemerintah atau pejabat administrasi negara akan diadili, diperiksa, dan diputus sengketanya oleh badan peradilan yang sama yakni badan peradilan umum atau yang disebut sebagai the ordinary Susunan badan kekuasaan kehakiman dalam negara-negara yang masuk dalam lingkup “prerogative state”. Dalam konsep yang dimiliki negara tersebut, pejabat administrasi negara atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi administratifnya tunduk dan berpedoman pada hukum administrasi negara. Dalam hal pejabat pemerintahan kemudian melakukan penyimpangan, kesalahan, maupun pelanggaran dalam melaksanakan fungsi administratif negaranya. Dalam struktur kenegaraan terdapat badan forum peradilan tersendiri untuk mengadili memeriksa dan memutus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat administrasi negara atau yang disebut dengan special diferensiasi terhadap susunan badan kekuasaan kehakiman baik di negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan. Diferensiasi ini menyangkut cara melakukan organisasi dan strukturisasi terhadap badan peradilan. Ketiga, adanya hak menguji. Faktor ini kemudian dapat memberikan pengaruh terhadap susunan badan kekuasaan kehakiman dengan adanya hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan maupun tindakan pemerintahan. Kebebasan badan peradilan atau independensi kehakiman merupakan unsur utama dan faktor terpenting bagi terlaksana dan tercapainya cita negara hukum dan juga merupakan jaminan terhadap hadirnya badan peradilan yang fair atau adil. Sehingga independensi tersebut melekat juga dalam diri hakim baik secara individual maupun secara The Bangalore Draft Code of Judicial Conduct 2001adopted by the Judicial Group on Strengthening Judicial Integrity, as revised at the Round Table Meeting of Chief Justices held at the Peace Palace, The Hague, November 25-26, 2002, lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Lampiran Penerapannya dilakukan melalui1. A judge shall exercise the judicial function independently on the basis of the judge’s assessment of the facts and in accordance with a conscientious understanding of the law, free of any extraneous inuences, inducements, pressures, threats or interference, direct or indirect, from any quarter or for any A judge shall be independent in relation to society in general and in relation to the particular parties to a dispute that the judge has to A judge shall not only be free from inappropriate connections with, and inuence by, the executive and legislative branches of government, but must also appear to a reasonable observer to be free In performing judicial duties, a judge shall be independent of judicial colleagues in respect of decisions that the judge is obliged to make A judge shall encourage and uphold safeguards for the discharge of judicial duties in order to maintain and enhance the institutional and operational independence of the A judge shall exhibit and promote high standards of judicial conduct in order to reinforce public condence in the judiciary, which is fundamental to the maintenance of judicial pembahasan di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikutUnited Nation telah mengadopsi beberapa prinsip penting terkait dengan peradilan yang bebas berdasarkan Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang berarti Prinsip-Prinsip Dasar dari Sebuah Peradilan yang Bebas pada Kongres Ke-7 pada tahun 1985. Secara umum, atau pada dasarnya, kemerdekaan dari sebuah badan peradilan adalah selalu merujuk pada kemampuan hakim untuk memutuskan sebuah perkara dengan bebas dari tekanan atau hasutan bagian Pertama 90 Jurnal Law and Justice, Vol. 3 No. 2 Oktober 2018Independensi Peradilan dan Negara Hukumapapun. Basis dari peradilan yang independen selanjutnya diawali dengan prinsip pertama yakni peradilan yang independen seharusnya dijamin oleh Negara dan ditetapkan dalam konstitusi atau hukum dari suatu negara. Selanjutnya adalah doktrin pembagian kekuasaan. Prinsip kedua adalah badan peradilan harus menentukan permasalahan berdasarkan basis fakta dan menurut hukum, tanpa batasan apapun, pengaruh yang tidak tepat, tekanan, ancaman pengaruh-pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun. Prinsip selanjutnya adalah seharusnya tidak ada ketidakpantasan apapun atau pengaruh dalam atau bersamaan dengan proses peradilan, tidak juga keputusan peradilan dari pengadilan dijadikan subjek perubahan atau revisi. Prinsip selanjutnya yang penting adalah pengaturan mengenai kehakiman, kemandirian dan independensinya, keamanan, remunerasi yang cukup, kondisi pelayanan, pensiun dan umur pengunduran diri harus secara cukup dijamin oleh hukum. Basis konstitusionalisme di Indonesia yang memberikan pengaturan mengenai independensi peradilan terdapat dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Kekuasaan kehakiman mengandung dua segi yakni hakim merdeka bebas dari pengaruh siapapun, selain kekuasaan legislatif dan eksekutif, hakim juga harus bebas dari pengaruh kekuasaan unsur-unsur judisiil itu sendiri dan pengaruh dari luar pemerintahan seperti pendapat umum, pers dan sebagainya dan kedua, kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya sebatas fungsi hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudisiil atau pada fungsi PustakaAsmara, Galang.2006. Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta Laks Bang Pressindo, Basah, Sjachran .1997. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni Budiarjo, Miriam.2009. Dasar-Dasar ilmu Politik, edisi Revisi Cetakan ke-empat Oktober Jakarta Gramedia PustakaEric Barendt, .1998. An Introduction Constitutional Law, London Clarendon Law Series, Oxford University PressManan, Bagir .2009. Menegakkan Hukum Suatu pencarian, Jakarta Asosiasi Advokat Bagir.1995. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung LPPM UnisbaMarzuki, Peter M .2010. Penelitian Hukum, Cet. Ke 6, Jakarta Kencana, Mustofa, Wildan Suyuthi.2013. Kode Etik Hakim, Kencana Prenadamedia Group, , JakartaJustice William Kelly, An Independent Judiciary The Core of The Rule of Law Rumokoy, Donald A .2001. Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta UII PressSaidi, Djafar, M .2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta Raja grando Persada, Schacter, Mark.2000. When Accountability Fails A Framework for Diagnosis and Action, Institute On Governance, Ottawa, Ontario, Canada Frans Magnis.2003. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta Gramedia Pustaka UtamaSoemantri, Sri .1997 Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung AlumniZiyad Motala & Cryril Ramaphosa, .2002. Constitutional Law analysis and Cases, Southern Africa, Cape Town Oxford University Press, Published in South Africa, ... Penjelasan umum UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum rechtstaad dan bukan negara kekuasaan maachstaad Maksum, 2020. Sesuai dengan pasal-pasal tersebut, salah satu prinsip utama negara hukum adalah kebebasan untuk menjalankan yurisdiksi yang independen Enggarani, 2019, sehingga Pasal 241 UUD 1945 menyatakan ...Raffael Moreno ChrishansDarell Tri JayaRasji RasjiWhen there is a dispute regarding the authority to adjudicate between one court environment and another court environment, then in the end the Mahkamah Agung MA as the highest court will use its power to try and resolve the dispute at the Cassation level or at the Judicial Review PK level, with Thus, if disputes over the jurisdiction of adjudicators continue to be submitted to the Supreme Court of Justice by the litigants, then the accumulation of cases at the Mahkamah Agung MA as the court of final instance in relation to these disputes cannot be avoided. The research methodology at this writing is to use juridical research legal research is a form of scientific activity in the field of law which uses methods, systematics and a thinking that is specific to studying laws, using certain analysis. The purpose of this paper is 1 to find out what are the main duties and functions of the Supreme Court. 2 to find out what judicial power is, 3 to know the authority of the Mahkamah Agung in the settlement of unlawful acts disputes at the cassation level.... Upaya pembaharuan tersebut salah satunya berupa penataan kembali struktur hukum pidana dalam menjalankan mekanisme sistem peradilan pidana yaitu pembentukan lembaga hakim komisaris sebagai pengganti lembaga praperadilan yang melakukan pemeriksaan sebagai bentuk pengawasan terhadap jalannya proses peradilan pidana khususnya pada tahap pemeriksaan pendahuluan Nugroho, 2011. Kemunculan lembaga baru yang akan menggantikan lembaga praperadilan diharapkan mampu mengurangi isu-isu peradilan seperti halnya independensi dan kemandirian untuk menjalankan kekuasaan dalam sistem tahapan peradilan pidana Enggarani, 2019. ...Imam GhozaliThe criminal justice system, which must be interpreted as a criminal law enforcement system, has been narrowed to its constitutional meaning in Indonesia. Therefore, efforts are needed to maintain the nature of the system as a system of judicial power that must be independent in order to ensure the justice and material truth so that it becomes an ideal criminal justice system. The following description tries to explain the existence of the institution of commissioner judges as part of the renewal of criminal law formil which can be a safety valve in realizing the form of the criminal justice system in the future.... As a state of law, Indonesia should refer to the law in its administration. It is stated by Nuria Siswi Enggarani 2018 that the constitution has determined that the Republic of Indonesia is a state based on law. Likewise, the explanation of the constitution mentions the state government system is regulated -Indonesia is a state based on the law rechtstaat. ...The purpose of the study is to evaluate the model of the appointment of Supreme Court justices in Indonesia and Malaysia and to find out a better model of judicial appointment in producing better quality justices. By using normative and empirical research, it concludes that first, the appointment of Supreme Court justices in Indonesia uses two methods namely career paths and professional paths non-career paths. This system is built after political reform where one of the agendas is the reform of law enforcement. While the appointment of justices in Malaysia demonstrates the dominance of executive power in the decision to appoint justices who were finally appointed by the Yang Dipertuan Agong. Therefore, there is pressure to make the process of appointing justices more transparent to produce more credible and independent justices. In 2009, the Judicial Appointments Commission was established in Malaysia to ensure an unbiased selection of judicial candidates for the consideration of the Prime Minister. Second, the requirements for selecting Supreme Court justices in Indonesia are more detailed and longer process than in Malaysia because the process of selecting Supreme Court justices is done by the Judicial Commission and there is a confirmation hearings process in the House of Representatives. In fact, the selection process affects the independence, impartiality, and integrity of the Supreme Court justices. Although Malaysia does not have any judicially determining cases on the lack of integrity of Supreme Court Justices, there were allegations of HartantoJuan Sebastian Kusumo PutroPurpose of the study This research aims to analyze the crime of village fund corruption by a Village Head in Criminal Case No. 32/ in the legal territory of Palu State Court. Methodology This research used the normative juridical method with the statute and case approaches. This was descriptive qualitative research. Results Results showed that the decision of the state court on the crime of village fund corruption in Criminal Case No. 32/ defendant has violated Article 2 clause 1 jo. Article 8 of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of the Crime of Corruption as what was amended and added with Law No. 20 of 2001 on the Change of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of the Crime of Corruption. The judicial considerations on the sanctions for perpetrators of corrupting village funds are already according to the applicable regulations under the guideline of the Law on Corruption. It was also found that the crime of corruption violated Islamic Sharia. Applications of this study It is hoped that the results of this paper may answer the issues it analyzed and so that it may become material for consideration in finding accurate and valid resolution guidelines to resolve issues on the crime of village fund corruption in Indonesia. Novelty/Originality of this study This paper focused on the crime of village fund corruption in Criminal Case No. 32/ and it was added with the perspective of Islamic values. Keywords Village fund, corruption, judicial consideration, Islamic valuesIbnu SahalAmbiguitas kedudukan lembaga kejaksaan yang berada di ranah kekuasaan yudikatif ataukah eksekutif menjadikan penelitian ini urgen untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis 1 kedudukan lembaga kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan penuntutan; dan 2 menggugat kedudukan jaksa sebagai jabatan fungsional berdasarkan UU ASN. Metode penelitian yang digunakan mengacu paradigma post positisvm dengan jenis penelitian nondoktrinal. Hasil penelitian menunjukkan 1 Kedudukan lembaga Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan penuntutan sebagai pengendali proses perkara yang artinya hanya kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak; dan 2 Menggugat kedudukan jaksa sebagai jabatan fungsional berdasarkan UU ASN berarti menggugat ketentuan Pasal 1 ayat 1 jo. Pasal 9 huruf h UU Kejaksaan, sehingga perlu dilakukan pengajuan judical SatrioToni ToniThe problem in question is the independence of supervision of LPSK members. This is related to the mechanism for forming an advisory board and an ethics board that affects the pattern of supervision of LPSK members when it is correlated with the determination of LPSK members who are suspected of committing disgraceful acts. The analytical knife used is independence. The formation of this advisory board and ethics board must go through a selection formed by the President. The reason for the formation of the advisory board and the ethics board must go through a selection mechanism by the selection committee that forms the president, so that the supervision carried out within the LPSK becomes more Rachmat HambaliTujuan penelitian menganalisis kemerdekaan hakim dan kemandirian kehakiman dalam konsep negara hukum. Metode Penelitian menggunakan penelitian hukum normative, Hasil penelitian bahwa Kemerdekaan Hakim dan kemandirian Kekuasaan Kehakiman sebagai penjelmaan konsep Negara Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 hasil amandemen beserta beberapa peraturan perundang undangan yang terkait seperti Undang Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang Undang Mahkamah Agung, Undang Undang Komisi Yudisial serta ketetapan MPR yang merupakan rujukan dalam pelaksanan Kemerdekaan Hakim, dan kemandirian personal, kemandirian substantive ,kemandirian internal serta kemandirian institusi. Rekomendasi mewujudkan konsep Negara Hukum perlu ditata peraturan perundang undangan yang menjamin kemerdekaan Hakim dan Kemandirian Kekuasaan. The research objective is to analyze the independence of judges and the independence of the judiciary in the concept of a rule of law. The research method uses normative legal research. The results show that the independence of judges and the independence of the judicial power as the embodiment of the concept of the rule of law as regulated in Article 1 paragraph 3 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia amendments along with several related laws and regulations such as the Law Judicial Power, the Law on the Supreme Court, the Judicial Commission Law and the MPR decrees which are references in the implementation of Judges' Independence, and personal independence, substantive independence, internal independence and institutional independence. Recommendations to embody the concept of a rule of law need to put in place laws and regulations that guarantee the independence of judges and independence of PermadiFifiana WisnaeniMahkamah Agung dalam melaksanakan fungsinya harus diberikan kemandirian organsiasi, terkait pengelolaan Sumber Daya Manusia dan anggaran. Kedua hal tersebut akan sangat berpengaruh kepada kemandirian fungsi judicial Mahkamah Agung. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan kemandirian dan independensi pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung, dan menjelaskan tentang konsep ideal pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Kemandirian dan Independensi Mahkamah Agung secara kelembagaan terutama di bidang tugas, fungsi dan susunan organisasi di lingkungan sekertariat dan kepaniteraan Mahkamah Agung mensiratkan adanya intervensi kekuasaan pemerintah eksekutif. Dibidang pengelolaan finansial, juga tidak sepenuhnya memiliki kemerdekaan didalam menyusun anggaran organisasinya. Konsep ideal penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung adalah konsep yang mengintegrasikan antara Prinsip Demokrasi, Prinsip Negara Hukum, dan Prinsip Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka sebagai satu kesatuan sistem penyelenggaraan kekuasaan F B William KellyThe purpose of this paper is to attempt to explain to an audience of Chinese legal professionals the concept of judicial independence as it has been applied in some member states of the United Nations. The perspective will be principally Canadian, with reference to some other major common law jurisdictions, and with some brief allusions to larger civil law jurisdictions. The more important elements of judicial independence referred to in United Nation's documents will be reviewed and some practical applications of these principles will be discussed. A thorough review is beyond the scope of any single paper, but this work will refer to numerous judicial and academic authorities where the subject has been discussed in considerable detail which may be helpful for future reference. The paper also discusses the historical and jurisprudential basis for the requirement of judicial ilmu Politik, edisi Revisi Cetakan ke-empat Oktober Jakarta Gramedia Pustaka Eric BarendtSjachran BasahBasah, Sjachran.1997. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni Budiarjo, Miriam.2009. Dasar-Dasar ilmu Politik, edisi Revisi Cetakan ke-empat Oktober Jakarta Gramedia Pustaka Eric Barendt,.1998. An Introduction Constitutional Law, London Clarendon Law Series, Oxford University PressMenegakkan Hukum Suatu pencarianBagir MananManan, Bagir.2009. Menegakkan Hukum Suatu pencarian, Jakarta Asosiasi Advokat Kehakiman Republik IndonesiaBagir MananManan, Bagir.1995. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung LPPM UnisbaPerkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi NegaraDonald A RumokoyRumokoy, Donald A.2001. Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta UII PressPerlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian SengketaDjafar SaidiSaidi, Djafar, M.2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa, Jakarta Raja grafindo Persada,Hak Menguji Materil Di IndonesiaSri SoemantriSoemantri, Sri.1997 Hak Menguji Materil Di Indonesia, Bandung AlumniPeradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan dalam Hukum Pajak di IndonesiaGalang AsmaraAsmara, Galang.2006. Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta Laks Bang Pressindo, DalamPasal 24 Ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan salah satu yang menjadi pelaku dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah Hakim. Hakim di tuntut untuk menegakkan hukum dan keadilan bukan memenangkan perkara - Konsep peradilan bebas dan tidak memihak sudah seharusnya ada dan dijalankan di setiap negara hukum. Ini berkaitan dengan kewajiban dan wewenang hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya. Supaya keadilan dan kebenaran dapat yang dimaksud dengan peradilan bebas dan tidak memihak? Arti peradilan bebas dan tidak memihak Dikutip dari buku Hukum Jaminan Kesehatan Sebuah Telaah Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan 2020 oleh Endang Wahyati Yustina dan Yohanes Budiwarso, peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim bebas dari pengaruh siapa pun dalam melaksanakan tugasnya. Hakim tidak boleh dipengaruhi dengan alasan apa pun, entah itu karena kepentingan jabatan politik maupun uang ekonomi. Konsep ini merupakan salah satu prinsip negara hukum, selain supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, dan juga Bedanya Peradilan dan Pengadilan Menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia 2010, konsep peradilan bebas dan tidak memihak ditujukan untuk menjamin keadilan dan kebenaran. Agar hal itu tercapai, tidak boleh ada intervensi dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik dari kekuasaan eksekutif, legislatif, masyarakat, maupun media massa. Peradilan bebas dan tidak memihak berarti hakim tidak memihak kepada pihak mana pun, kecuali kebenaran serta keadilan. Meski begitu, dalam menjalankan tugasnya, mulai dari pemeriksaan perkara hingga penjatuhan putusan, hakim harus bersifat terbuka dan menghayati nilai-nilai keadilan yang tertanam di masyarakat. Kesimpulannya, maksud dari peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim tidak boleh dipengaruhi dan bebas intervensi dari pihak mana pun dalam menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Baca juga Sistem Hukum dan Peradilan Indonesia Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau mengabaikan undang-undang tanpa dasar atau alasan yang kuat. Dan bukan pula bahwa pemerintah menjadi tidak perlu terikat kepada undang-undang. Keterikatan pemerintah kepada undang-undang pada dasarnya bersifat relatif.26 3. Konsep Negara Hukum KETIKA wacana pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilu pertama kali mencuat, penyikapan atas wacana ini direspons beragam, bahkan tidak lepas dari perdebatan. Di satu pihak ada yang mendukung, di pihak lain tak sedikit yang menolak. Pihak yang mendukung berargumen, kemendesakan pembentukan peradilan khusus menjadi keharusan demi menyikapi adanya benturan dan tarik ulur kewenangan antar lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi MK dan Mahkamah Agung MA. Pihak yang menolak berpendapat, pembentukan peradilan khusus pemilu dan pilkada belum dibutuhkan mengingat MK masih mempunyai kewenangan untuk menanganinya. Selain itu, dalam Pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan. Baca juga Komisioner KPU Dorong Pembentukan Badan Peradilan Khusus PemiluPolemik pembentukan peradilan khusus pemilu semakin mendapat tempatnya ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota menjadi undang-undang. Pasal 157 ayat 1 UU itu mengamanatkan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Berdasarkan ayat 2, badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. MK sebagai peradilan sengketa hasil pemilu Kewenangan MK untuk menyelesaikan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal 22E ayat 2 UUD 1945 dijelaskan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, serta DPRD. Oleh karenanya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK pun ditegaskan, yang dimaksud perselisihan hasil pemilu adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kewenangan penyelesaian sengketa pemilu mengalami perluasan mencakup pula perselisihan hasil pemilukada. Dalam uji materi Perkara No. 072-073/PUUII/2004, MK berpendapat bahwa rezim pilkada langsung, walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang-undang bukan merupakan rezim pemilu, tetapi secara substantif adalah pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional pemilu. Putusan tersebut memengaruhi pembentuk undang-undang untuk melakukan pergeseran pemilukada menjadi bagian dari pemilu. Oleh karena itu, pemilukada didefinisikan sebagai pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Pengisian jabatan kepala daerah secara langsung yang semula menjadi bagian dari sistem otonomi daerah bergeser menjadi bagian dari sistem pemilu yang penyelenggaraannya di bawah koordinasi KPU secara nasional. Dengan perubahan tersebut, kewenangan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilukada dari MA dialihkan ke MK, sama halnya dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu pada umumnya. Peralihan kewenangan mengadili yang dijalankan MK sejak akhir tahun 2008 beberapa kali diuji konstitusionalitasnya. Pada uji materi dalam perkara No. 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak berwewenang mengadili perselisihan hasil pemilukada. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK berpendapat bahwa pemilukada sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang masuk dalam rezim pemerintahan daerah adalah tepat. Meski tidak tertutup kemungkinan pemilukada diatur dalam UU tersendiri, tetapi tidak masuk dalam rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 yang harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK No. 97/PUU/XI/2013. Jika memasukan pemilukada sebagai bagian dari pemilu dan menjadi wewenang MK dalam penyelesaian perselisihan hasil, maka tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu. Penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pilkada dengan memperluas makna pemilu seperti diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional. Baca juga Jimly Ada yang Usulkan, DKPP Saja yang Jadi Peradilan Khusus Pemilu Meski MK tidak lagi berwewenang mengadili sengketa pemilukada, semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelum diuji, kedua pasal tersebut merupakan produk hukum yang sah. Sepanjang belum diberlakukan UU Pilkada yang baru, MK menyatakan masih berwewenang mengadili sengketa hasil pemilukada. Pada akhir masa bakti lembaga legislatif periode 2009-2014, terjadi perubahan kebijakan politik hukum, dengan diberlakukannya pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tidak langsung melalui DPRD. Perubahan mekanisme pemilihan tersebut mendapat reaksi penolakan secara luas dari masyarakat. Menangkap reaksi tersebut, Presiden mencabut pemberlakuan aturan pilkada tidak langsung dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Perppu yang mengembalikan mekanisme pemilihan secara langsung tersebut, hanya gubernur, bupati, walikota yang dipilih, sedangkan wakilnya tidak dipilih secara Perppu yang ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dalam persidangan DPR masa bakti berikutnya, Pengadilan Tinggi diberi wewenang untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan, dan dapat diajukan keberatan ke MA. Batasan perselisihan hasil yang dapat diajukan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikut atau memengaruhi penetapan calon terpilih. Belum sempat diimplementasikan, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 mengalami perubahan dan penyempurnaan. Beberapa materi perubahan di antaranya tentang penyelenggaraan pemilihan menjadi secara serentak dan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan melalui badan peradilan khusus. Namun, UU ini tidak menegaskan kedudukan badan peradilan khusus pemilu berada di lingkungan peradilan umum maupun peradilan TUN. UU itu juga menegaskan, selama peradilan khusus belum terbentuk, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan. Istilah pemilihan’ digunakan UU ini untuk menyebut pemilukada. Bawaslu menuju Badan Peradilan Khusus Pemilu Gagasan tentang peradilan khusus pemilu menjadi relevan dipertimbangkan karena upaya hukum dalam tahapan pemilu yang terjadi selama ini seringkali tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Misalnya, terkait berlapis-lapisnya upaya hukum pemilu sehingga kontraproduktif dengan tahapan pemilu yang dibatasi jangka waktu. Fritz Edward Siregar2019. Faktanya, upaya hukum tersebut terpisah dalam beberapa lingkungan peradilan. Dengan kondisi itu, upaya hukum terhadap tahapan pemilu mengalami tantangan lebih lanjut dengan pelaksanaan pemilu serentak 2024 karena tahapan proses pemilu dan pilkada dan upaya hukum atas setiap tahapan pemilu dan pilkada tersebut akan dilaksanakan secara bersamaan pada tahun yang sama. Jika menggunakan mekanisme peradilan sebagaimana hukum positif saat ini tentu akan sulit mewujudkan pemilu yang berkeadilan. Dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang dapat diketahui bahwa ke depan, sebelum pemilihan serentak secara nasional, akan dibentuk Badan Peradilan Khusus Perselisihan Hasil Pemilihan. Namun karena hingga saat ini badan dimaksud belum terbentuk, maka MK yang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan tersebut. Sementara di Pasal 474 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu tanpa adanya niat untuk menciptakan badan peradilan khusus di luar MK. Hal ini tentu saja selaras dengan kewengan MK dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Terkait situasi tersebut, usulan untuk mentransformasi Bawaslu menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu menjadi semakin relevan. Satu manfaat utama dari pembentukan peradilan khusus yang bersifat otonom adalah menghindarkan pengadilan yang sudah dibentuk, baik MA maupun MK, dari intervensi yang berbau politis. Dengan demikian, pilihan mentransformasi Bawaslu menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu dapat diwujudkan dalam dua pilihan model. Pertama, mendesaian badan peradilan khusus yang sejajar dengan MK dan MA selayaknya penerapan di Meksiko dan Brasil. Atau kedua, mentransformasi Bawaslu menjadi lembaga semi peradilan dengan fokus utama menyelesaikan sengketa pemilu. Pilihan untuk membentuk lembaga peradilan otonom yang sejajar dengan MA dan MK merupakan pilihan ideal berdasarkan pertimbangan-perbandingan konstitusi. Namun pilihan ini sulit diterapkan di Indonesia karena membutuhkan momentum perubahan konstitusi. Selain itu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UUD 1945 telah memberikan peran penyelesaian sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif kepada MK. Fritz Edward Siregar2019. Sedangkan pilihan mentransformasi Bawaslu menjadi lembaga semi peradilan dipandang lebih realistis untuk dicapai karena dapat dilakukan dengan perubahan di tingkat UU. Dari transformasi yang ditawarkan, hendaknya badan peradilan khusus yang akan dibentuk dapat menjadi sentral penyelesaian permasalahan pemilu di Indonesia. Jika mengacu ke UU Pilkada, pembentukan badan peradilan khusus pemilu dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan Serentak 2024. Sejatinya konsep peradilan khsusus pemilu sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi kita. Karena itu, hal tersebut menjadi usulan yang dipandang penting untuk segera didorong pembentukannya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
PEMBAHASAN 2.1. Subjek hukum manusia. Subyek hukum adalah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dalam kehidupan sehari-hari, yang menjadi subyek hukum dalam sistem hukum Indonesia, yang sudah barang tentu berdasar dari sistem hukum Belanda, ialah orang dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).
Keberadaan badan peradilan harus bebas dan tidak memihak. Pernyataan tersebut mengandung makna …. A. badan peradilan tidak bersangkut paut dengan pemerintah B. badan peradilan bebas membuat keputusan C. badan peradilan tidak berada di bawah pengaruh lembaga atau badan lain serta harus memberikan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara D. badan peradilan tidak membutuhkan bantuan lembaga lain E. badan peradilan selalu bekerja secara mandiri dan bebas membuat keputusannya sendiri PembahasanKeberadaan badan peradilan harus bebas dan tidak memihak. Pernyataan tersebut mengandung makna badan peradilan tidak berada di bawah pengaruh lembaga atau badan lain serta harus memberikan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara Jawaban C - Jangan lupa komentar & sarannya Email nanangnurulhidayat
Analisislahpernyataan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak? Iklan Jawaban terverifikasi ahli akare pada hakikatnya suatu badan peradilan baik dalam nasional ataupun secara internasional ialah bersifat bebas dan tidak memihak..dikarenakan ada unsur keadilan, kejujuran, keijaksanaan didalamnya
usahanegara maupun badan peradilan seperti berbagai tribunal dengan berbagai pemberian ganti rugi apabila ternyata pengadilan menemukan adanya perbuatan melawan hukum. Dimaksud dengan judicial review dalam skripsi ini dapat dilihat dalam Putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG8 jo. No. 241/B/2008/PT TUN. JKT9 jo. No. 127 PK/TUN/200910. Penulis
Sebagaimanatelah penulis kemukakan bahwa setidaknya ada empat produk hukum pemikiran hukum islam yang telah berkembang dan berlaku di indonesia, seiring pertumbuhan dan perkembangannya. Empat produk pemikiran hukum islam tersebut adalah fiqih,Fatwa ulama, hakim,keputusan pengadilan, dan perundang-undangan.
Co53Cg.
  • wanvx774in.pages.dev/329
  • wanvx774in.pages.dev/80
  • wanvx774in.pages.dev/254
  • wanvx774in.pages.dev/344
  • wanvx774in.pages.dev/319
  • wanvx774in.pages.dev/117
  • wanvx774in.pages.dev/288
  • wanvx774in.pages.dev/68
  • kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak